Berpisah Selamanya

Sebuah lelucon.
Xiaoming sakit keras, berbaring di rumah sakit lama sekali, sehingga membangun perasaan dengan dokter yang mengobatinya.
Xiaoming akhirnya sembuh juga, lalu mengurus prosedur keluar dari rumah sakit. Pada hari dia keluar dari rumah sakit, Xiaoming senang sekali, dengan penuh terima kasih, berkata pada dokter yang mengobatnya, “Sampai jumpa lagi, dr. Wang!”
Ibu Xiaoming sangat tabu dengan kata “sampai jumpa lagi”, buru-buru berkata, “Tidak boleh mengatakan sampai jumpa lagi, apakah kamu ingin datang lagi ke rumah sakit?”
Xiaoming berpikir sejenak apa yang sebaiknya ia katakan, akhirnya berkata, “Dr. Wang, kita berpisah selamanya!”
Ha! Ha! Ha!

Lelucon ini, titk berat ada pada kalimat terakhir, berpisah selamanya, berpisah selamanya ini mengandung sedikit rasa Zen.
1. Antara sesama manusia, akhirnya adalah berpisah selamanya.
2. Antar manusia, akhirnya adalah berpisah selamanya.
3. Antara manusia dan yang paling dicinta atau paling dibenci, akhirnya adalah berpisah selamanya.
4. Berpisah selamanya! Semua adalah sunya.
Namun, berpisah selamanya, masih bukan “pencerahan”.
Pencerahan adalah: tidak jumpa! Tidak jumpa lagi! Tidak ada perpisahan selamanya!
Siswa mulia, apa pendapat kalian mengenai tidak jumpa! Tidak jumpa lagi! Tidak ada perpisahan selamanya! Coba ceritakan.

Bhiksu bertanya, “Bagaimana saat hidup maupun jodoh telah berakhir?”
Guru Zen menjawab, “Mati!”
Bhiksu bertanya, “Orang ini jatuh ke alam mana?”
Guru Zen menjawab, “Terombang-ambing di alam semesta, hancur lebur tidak dapat dipegang.”
(Mahaguru Lu berkata, jawaban ini tidak memuaskan, jika dijelaskan dengan kebenaran pertama, seharusnya: mati juga nama palsu! Alam juga nama palsu.)
Saya bertanya pada siswa mulia: mati adalah palsu! Alam adalah palsu! Apa yang sejati?
Cepat katakan! Cepat katakan!

Bhiksu bertanya, “Kalangan agama mengatakan bahwa Ajita tidak menghentikan kerisauan, tidak melatih Dhyana, Sang Buddha memberikan vyarakarana kepada Ajita, kelak mencapai kebuddhaan tanpa ragu, di mana logikanya?”
Guru Zen menjawab, “Garam telah habis, arang telah tiada.”
Bhiksu bertanya, “Bagaimana saat garam telah habis, arang telah tiada?”
Guru Zen menjawab, “Orang murung jangan cerita pada orang murung, cerita pada orang murung, kemurungan membunuh manusia.”
Bhiksu bertanya, “Bagaimana memperoleh kontak pikiran?”
Guru Zen menjawab, “Mengejutkan air, ikan dan naga berpencar.”
Bhiksu bertanya, “Bagaimana setelah memperoleh kontak pikiran?”
Guru Zen menjawab, “Masing-masing menempuh jalan sendiri, tidak menyusahkan ikan dan angsa untuk menyampaikan berita.”
(Mahaguru Lu berkata, dialog antara bhiksu dan Guru Zen, kita mesti berpikir cepat, di dalam tetap ada makna yang dalam, namun, orang biasa tidak mengerti. Misal, Ajita tidak menghentikan kerisauan, tidak melatih Dhyana, mengapa diberikan vyakayana mencapai kebuddhaan? Anda boleh berpikir seperti ini, pada diri Ajita, kerisauan pada dasarnya adalah sunya, pada dasarnya memang tidak ada, pada dasarnya adalah Bodhi. Orang yang dapat mencerahi ini, tidak melatih Dhyana atau samadhi, kerisauan sama halnya dengan tiada kerisauan, lantas apa ini kalau bukan Buddhadharma?)
Saya mencerahi:
Mahaguru Lu bukan manusia, bukan manusia, lantas apa?

Tidak ada komentar: